Angin, mungkin terasa menyejukkan jika berhembusnya
sepoi-sepoi. Angin juga merupakan sahabat, ketika bermain laying-layang. Angin
juga membantu penyebaran bibit tumbuhan, seperti kata guru biologi waktu SD.
Angin pulalah yang dimanfaatkan oleh burung sehingga mampu terbang selama
berpuluh-puluh jam diatas lautan yang luas. Akan tetapi angin juga terasa
menggangggu jika berhembusnya keras, menerjang semua kertas kerja kita, dan
memaksa kita memunguti hamburan kertas yang berantakan.
Angin dengan udara dingin, mungkin membuat kita jatuh sakit,
masuk angin seperti kata orang-orang tua. Angin yang sangat keras, mungkin
menjadi badai yang mampu memporak porandakan bangunan-bangunan dari batu bata
sekalipun. Tapi apa yang dapat dikatakan jika angin yang berhembus lebih dari
100 km / jam harus kita hadapi sambil bersepeda ? angin jenis inilah yang harus
saya hadapi hampir beberapa hari terakhir.
Di awal musim dingin atau awal musim semi, biasanya angin
berhembus sangat keras di Belanda. Negara di mana saya sekarang sedang
melanjutkan tugas belajar. Celakanya penderitaan ini sering ditambah dengan
adanya hujan, hujan es, cuaca dingin, dan kadang salju. Bagi orang yang tinggal
di negeri Belanda, mungkin cuaca buruk dan berubah-ubah sudah menjadi makanan
sehari-hari. Karena itu tidak mengherankan, ketika diadakan survey mengenai
topik yang paling sering ditanyakan oleh orang belanda adalah cuaca. Tapi
alangkah herannya negara ini yang juga merupakan negara nomor satu di dunia,
dimana jumlah sepeda mungkin lebih besar dari jumlah penduduknya. Tentunya
bersepeda dengan angin yang sedemikian keras, bukanlah hal yang menyenangkan.
Dan sepeda inipulah yang juga menjadi teman seperjuangan saya setiap kali
melawan hembusan angin yang tidak sepoi-sepoi itu.
Angin ini pulalah yang membuat perjalan 100 meter serasa
1000 meter, bayangkan jika angin berhembus dengan kecepatan 100 km dari arah
depan. Terkadang angin juga berhembus dari arah samping, yang membuat saya
ingin terjatuh dari sepeda. Hal yang sangat menakutkan adalah ketika harus
melintasi jembatan atau bersepeda disamping kanal. Serasa lebih aman untuk
menuntun sepeda dan berjalan kaki, daripada jatuh masuk kanal yang pasti airnya
dingin minta ampun.
Meskipun bukan berarti perjuangan sudah selesai. Penderitaan
ini masih ditambah lagi, dengan kegemaran orang belanda membangun gedung yang
tinggi-tinggi. Tentu karena tanah yang tersedia sangat terbatas. Keberadaan
gedung-gedung ini mampu memecah aliran angin, menjadi lebih lemah tapi tidak
jarang malah berlipat-lipat kali kuatnya. Tak ketingglan universitas dimana
saya belajar memiliki sebuah gedung yang sangat tinggi. Dengan ada gedung ini,
maka angin terpecah di sisi kanan dan kiri gedung. Celakanya bagi orang yang
bersepeda atau berjalan disekitar gedung itu, saat angin berhembus keras. Maka
serasa seperti berjalan dari lorong angin (turbulence) di laboratorium. Sungguh
berbahaya sekali keadaan disana. Saya pernah jadi bahan tertawaan orang, ketika
saya beserta sepeda terseret oleh angin dan jatuh menabrak pohon.
Sempat terlintas di pikiran saya, kenapa angin di Belanda
selalu datang dari arah yang berlawan dengan arah yang saya tuju. Ketika saya
belok ke kiri, ada angin dari depan, ketika berbelok ke kanan, tetap juga ada
angin menghalang dari depan. Jarang sekali ada angin yang datang dari arah
belakang, dan mendorong laju sepeda saya. Hampir saya berpikir, angin disini
memang ingin mempersulit hidup saya. Padahal tidak ada dosa saya pada si angin
tersebut.
Dengan penuh keingin tahuan, maka saya mulai mengamati arah
angin, dugaan semula bahwa tidak ada angin dari belakang, ternyata salah. Tidak
jarang juga saya merasakan ada dorongan yang membuat saya bersepeda semakin
kencang. Cuma selama ini saya tidak merasakannya, atau tepatnya tidak mau
merasakan bantuan dari si angin ini. Yang selalu saya protes adalah angin yang
datang dari depan, yang menghambat saya. Yang lebih saya perhatikan adalah
angin yang mendatangkan kesulitan daripada angin yang menolong saya.
Menarik sekali, ketika kemudian saya sadar, bahwa kehidupan
manusia terutama saya sendiri adalah seperti ini. Banyak protes ketika
kesulitan menghalangi jalan, dan tidak sadar ketika mendapat berkat atau
pertolongan. Seringkali saya komplain kepada Tuhan bahwa kehidupan saya terasa
berat dan banyak hal yang merintangi jalan. Pekerjaan atau pelayanan yang tidak
lancar, banyak masalah, bahkan bekerja untuk Tuhan pun tidak terlepas dari
masalah. Meskipun tanpa saya sadari, banyak berkat dan pertolongan dari Tuhan.
Tidak sedikit dorongan ‘angin belakang’ dari Tuhan yang saya lupakan dan
abaikan. ‘Angin’ tersebut justru menolong saya, menolong saya melaju lebih
cepat. Sejak saat itu, saya belajar bahwa angin dari depan yang sering
menghalangi jalan kita akan selalu ada dan tetap selalu ada, akan tetapi ada
pula angin dari belakang yang mendorong dan memacu perjalanan saya. Dan
bukankah itulah indahnya hidup, terutama hidup berjalan dengan Tuhan
http://aerynth.wordpress.com/2011/05/03/angin/
No comments:
Post a Comment